KHUTBAH JUMAT MENYAMBUT PEMILU LEGISLATIF
Sepuluh
Prinsip Etika Kompetisi
Agar
kompetisi yang positif di atas tidak berubah menjadi energi negatif dan madzmum
(tercela), maka perlu memperhatikan 10 prinsip etika berikut:
Pertama: Harus dipastikan bahwa kompetisi itu benar-benar
dalam kebaikan
(أن تكون المنافسة في الخيرات)
Semua dalil
di atas menunjukkan bahwa berkompetisi itu menjadi mulia jika dilakukan dalam
kebaikan. Dan salah satu kunci keberhasilan Rasulullah SAW dalam mentarbiyah
(membina) para sahabatnya sehingga menjadi generasi terbaik dan manusia unggul,
adalah beliau SAW menanamkan dalam diri mereka ruh at-tanaafus (semangat
berkompetisi) dalam kebaikan.
Contohnya
adalah kompetisi yang ditunjukkan Umar bin Khaththab RA yang ingin mengalahkan
Abu Bakar Ash-Shiddiq RA dalam berjihad dengan harta (bersedekah). Yaitu, suatu
hari Rasulullah SAW menyeru dan menyemangati para sahabat untuk bersedekah.
Maka, terkumpullah harta yang cukup banyak di tangan Umar untuk disedekahkan
merespon seruan Nabi SAW. Umar RA berkata, “Hari ini, aku akan dapat
mengalahkan Abu Bakar. Maka, aku datang (menemui Nabi) membawa separuh
hartaku”. Lalu Rasulullah SAW bertanya, “Apa yang engkau sisakan buat
keluargamu?” Aku menjawab, “Sepadan dengan itu (maksudnya; separuhnya)”. Dan
(tiba-tiba) datanglah Abu Bakar dengan membawa semua harta yang dimilikinya.
Beliau SAW lalu bertanya, “Wahai Abu Bakar, apa yang engkau sisakan buat
keluargamu?” Ia menjawab, “Aku sisakan buat mereka Allah dan Rasul-Nya”. Aku
(Umar) berkomentar, “Aku tidak akan pernah mengalahkannya (Abu Bakar) dalam
urusan apa pun selama-lamanya”[8].
Termasuk
kompetisi dalam kebaikan, adalah berkompetisi dalam Kasbu’ts Tsawab
(meraih pahala) dan Kasbu’l Qulub (menarik simpati hati) masyarakat guna
mendukung dan mensupport dakwah (Ta’zizu’d Da’wah) dengan mengenalkan
dan memasarkan program-program dakwah kepada masyarakat. Kejujuran dan
kesungguhan ikhtiar kita dalam hal ini mendatangkan support dan Mahabbatullah
(kecintaan Allah) yang kemudian pasti akan melahirkan simpati, dukungan dan
cinta masyarakat, sebagaimana telah digariskan oleh Allah SWT dalam firman-Nya,
“Sesungguhnya
orang-orang yang beriman dan beramal saleh, kelak Allah yang Maha Pemurah akan
menanamkan dalam (hati) mereka rasa kasih sayang.” (Maryam: 96)
Juga telah
ditegaskan oleh Rasulullah SAW dalam dengan sabdanya,
إِذَا أَحَبَّ اللَّهُ الْعَبْدَ
نَادَى جِبْرِيلَ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ فُلاَنًا فَأَحْبِبْهُ، فَيُحِبُّهُ
جِبْرِيلُ، فَيُنَادِي جِبْرِيلُ فِى أَهْلِ السَّمَاءِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ
فُلاَنًا فَأَحِبُّوهُ، فَيُحِبُّهُ أَهْلُ السَّمَاءِ، ثُمَّ يُوضَعُ لَهُ الْقَبُولُ
فِى الأَرْضِ
“Apabila
Allah mencintai seorang hamba, Dia memanggil Jibril (seraya berfirman);
Sesungguhnya Allah mencintai si Fulan (disebut nama orang itu), maka cintailah
dia! Lalu Jibril pun mencintainya. Kemudian Jibril memanggil penduduk langit
(seraya berkata); Sesungguhnya Allah mencintai si Fulan, maka hendaknya kalian
semua mencintainya. Kemudian ia mendapatkan penerimaan (yang baik; simpati dan
dukungan) di muka bumi”[9].
Dalam versi
riwayat Imam Muslim, terdapat tambahan redaksi berikut,
وَإِذَا أَبْغَضَ عَبْدًا دَعَا جِبْرِيلَ فَيَقُولُ
إِنِّي أُبْغِضُ فُلاَنًا فَأَبْغِضْهُ – قَالَ – فَيُبْغِضُهُ جِبْرِيلُ ثُمَّ
يُنَادِي فِي أَهْلِ السَّمَاءِ إِنَّ اللَّهَ يُبْغِضُ فُلاَنًا فَأَبْغِضُوهُ –
قَالَ – فَيُبْغِضُونَهُ ثُمَّ تُوضَعُ لَهُ الْبَغْضَاءُ فِي الأَرْضِ
“Dan
apabila (Allah) membenci seorang hamba, Dia memanggil Jibril sambil berfirman,
‘Sesungguhnya Aku benci si Fulan, maka bencilah ia!’. Lalu Jibril membencinya,
kemudian memanggil kepada penduduk langit; Sesungguhnya Allah membenci si Fulan
maka hendaknya kalian membencinya. Semua penduduk langit pun lantas
membencinya, kemudian ia mendapatkan kebencian (bisa berbentuk ditolak dan
dimusuhi) di muka bumi
Kedua: Hendaknya Al-Munafasah (kompetisi) itu di
jalan Allah, bukan untuk kepentingan diri sendiri (individu), harta rampasan
perang, jabatan/kedudukan dan popularitas/penampilan
(أن تكون المنافسة في سبيل الله، لا
في سبيل الذات، والمغنم، والجاه، والمظهر)
Baik dan
buruknya suatu kompetisi sangat tergantung kepada niat dan motivasi. Maka,
perlu selalu diwaspadai rusaknya niat dan motivasi dalam berkompetisi. Bukankah
Rasulullah SAW telah bersabda,
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ،
وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
“Sesungguhnya
semua perbuatan itu tergantung kepada niat. Dan setiap orang tergantung kepada
apa yang diniatkan (motivasi)nya
Untuk itu
harus diwaspadai kompetisi dan persaingan dalam urusan dunia; jabatan,
kedudukan, harta dan yang sejenisnya. Betapa bahayanya masalah ini, Imam
Bukhari sampai perlu membuat satu bab khusus dalam kitab “Shahih”nya, yaitu
“Bab Hal yang Perlu Diwaspadai dari Gemerlap Dunia dan Berkompetisi dalam
Urusan ini”, kemudian beliau meriwayatkan hadits Nabi SAW ketika memberi taujih
(arahan) kepada para sahabatnya seraya bersabda,
فَوَاللَّهِ مَا الْفَقْرَ أَخْشَى
عَلَيْكُمْ، وَلَكِنْ أَخْشَى عَلَيْكُمْ أَنْ تُبْسَطَ عَلَيْكُمُ الدُّنْيَا،
كَمَا بُسِطَتْ عَلَى مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ، فَتَنَافَسُوهَا كَمَا تَنَافَسُوهَا
وَتُلْهِيَكُمْ كَمَا أَلْهَتْهُمْ
“Maka,
demi Allah bukanlah kefakiran yang aku khawatirkan atas kalian. Akan tetapi,
yang aku khawatirkan atas kalian adalah ketika dibukakan/dibentangkan atas
kalian dunia sebagaimana dibentangkan dunia itu atas orang-orang sebelum
kalian. Lalu kalian saling berkompetisi dalam memperebutkan dunia itu seperti
mereka dulu (juga) berkompetisi dalam memperebutkannya, dan (akhirnya) dunia
itu menghancurkan kalian seperti dunia itu (pula) yang pernah menghancurkan
mereka”[12].
Dari
Abdullah bin Amr bin Ash RA, dari Rasulullah SAW bersabda,
“إِذَا فُتِحَتْ
عَلَيْكُمْ فَارِسُ وَالرُّومُ أَيُّ قَوْمٍ أَنْتُمْ ؟” قَالَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ
بْنُ عَوْفٍ: نَقُولُ كَمَا أَمَرَنَا اللَّهُ. قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله
عليه وسلم- “أَوْ غَيْرَ ذَلِكَ تَتَنَافَسُونَ ثُمَّ تَتَحَاسَدُونَ ثُمَّ
تَتَدَابَرُونَ ثُمَّ تَتَبَاغَضُونَ أَوْ نَحْوَ ذَلِكَ”
“Apabila
ditundukkan bangsa Persia dan Romawi bagi kalian, maka kalian akan menjadi kaum
seperti apa?” Abdurrahman bin Auf RA menjawab,
“Kami akan mengatakan seperti apa yang diperintahkan Allah” (Imam An Nawawi
menjelaskan; maksudnya: kami akan memuji-Nya, mensyukuri-Nya dan memohon
kepada-Nya tambahan karunia-Nya) Rasulullah SAW bersabda, “Atau
(jangan-jangan) tidak seperti itu. Kalian malah saling berkompetisi (dalam
memperebutkan ‘kue’ kemenangan itu), kemudian (menjadikan) kalian saling hasud,
kemudian saling membelakang (tidak menyapa), kemudian saling membenci, atau
yang semisal itu”
Kompetisi
sejati di jalan Allah, telah diperagakan oleh para pemuda di zaman Nabi SAW.
Dalam perang Uhud, Rasulullah SAW telah menolak keinginan 14 orang pemuda yang
ingin ikut perang Uhud, karena usia mereka yang masih relatif muda; 14 tahun
atau kurang dari itu. Di antara mereka: Abdullah bin Umar[ Zaid bin Tsabit, Usamah bin
Zaid, Nu’man bin Basyir, Zaid bin Arqam, Barra’ bin ‘Azib. Mereka merindukan
bisa ikut perang dan masing-masing bercita-cita meraih mati syahid di jalan
Allah, sehingga masing-masing dari mereka siap berkompetisi dengan temannya
agar bisa terpilih ikut perang. Seperti Rafi’ bin Khadij RA, seorang pemuda
dari kaum Anshar yang berkompetisi dengan Samurah bin Jundub RA sampai harus
bergumul memperlihatkan kemampuannya guna meyakinkan Nabi SAW bahwa mereka
layak dipilih dan diikutsertakan dalam perang Uhud
Bahkan, yang
sangat mengagumkan, kompetisi seperti ini juga terjadi antara ayah dan anak.
Ketika Rasulullah SAW memobilisir kaum muslimin untuk keluar mencegah kafilah
kaum Quraisy, Khaitsamah bin Harits mengatakan kepada putranya; Sa’ad,
“Sesungguhnya salah seorang dari kita harus tinggal di rumah untuk menjaga para
wanita (keluarga)mu, maka biarkan aku yang keluar (ikut jihad bersama tentara
kaum muslimin)”. Namun Sa’ad menolak seraya berkata, “Wahai ayahku, seandainya
hal ini tidak ada hubungan dengan surga, niscaya aku relakan ayahanda yang
mendapatkannya. Sesungguhnya aku sangat mengharapkan mati syahid”. Lalu, mereka
sepakat untuk berkompetisi dengan cara diundi, ternyata yang keluar sebagai
pemenang adalah nama anaknya, Sa’ad. Maka, berangkatlah Sa’ad bersama
Rasulullah SAW dalam perang Badar (tahun 2 H) kemudian terbunuh; mati syahid
Ketiga: Hendaknya kompetitor itu orang yang memiliki
kapabilitas dan kredibiltas, serta memiliki kafa’ah (kemampuan dan
kompetensi), baik kemampuan tarbiyah (kematangan tarbiyah), dakwah dan sosial.
(أن يكون المنافس صاحب الكفاءة
التربوية (النضج التربوي)، والدعوية, والاجتماعية)
Sebab, kalau
amanat atau suatu urusan diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya dan tidak
memiliki kemampuan, maka yang terjadi adalah suatu kerusakan dan kehancuran.
Sebagaimana sabda Nabi SAW,
إِذَا وُسِّدَ الأَمْرُ إِلَى غَيْرِ
أَهْلِهِ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ
“Apabila
suatu urusan itu diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya, maka tunggulah
hari kiamat”[18].
Nabi SAW
pernah mengingatkan sahabatnya tercinta; Abu Dzar RA untuk tidak menjabat apa
pun karena tidak memiliki kompetensi dan kemampuan dalam hal ini.
عَنْ أَبِي ذَرٍّ قَال: قُلْتُ يَا
رَسُولَ اللَّهِ أَلاَ تَسْتَعْمِلُنِي؟ قَالَ: فَضَرَبَ بِيَدِهِ عَلَى مَنْكِبِي
ثُمَّ قَالَ: “يَا أَبَا ذَرٍّ إِنَّكَ ضَعِيفٌ وَإِنَّهَا أَمَانَةٌ وَإِنَّهَا
يَوْمَ الْقِيَامَةِ خِزْيٌ وَنَدَامَةٌ إِلاَّ مَنْ أَخَذَهَا بِحَقِّهَا
وَأَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ فِيهَا”
Dari Abu
Dzar RA bercerita, aku pernah bicara (dengan Nabi), “Wahai Rasulullah, mengapa
engkau tidak tugasi aku dengan suatu tugas/jabatan?” Ia berkata, lalu beliau
SAW menepuk pundakku dengan tangannya, kemudian bersabda, “Hai Abu Dzar,
sesungguhnya engkau orang yang lemah, dan sungguh jabatan itu amanah, dan
jabatan (kekuasaan) itu benar-benar pada hari Kiamat merupakan suatu kehinaan
dan penyesalan, kecuali orang yang mengambilnya dengan benar dan menunaikan
hak-haknya dengan baik”[
Dalam versi
riwayat lain, Nabi SAW menasehati Abu Dzar RA dengan sabdanya,
يَا أَبَا ذَرٍّ إِنِّي أَرَاكَ
ضَعِيفًا وَإِنِّي أُحِبُّ لَكَ مَا أُحِبُّ لِنَفْسِي لاَ تَأَمَّرَنَّ عَلَى
اثْنَيْنِ وَلاَ تَوَلَّيَنَّ مَالَ يَتِيمٍ
“Hai
Abu Dzar, sungguh aku lihat engkau orang yang lemah, dan aku mencintai untuk
dirimu apa yang aku cintai untuk diriku. Engkau jangan memimpin dua orang dan
jangan pula memegang harta anak yatim”
Keempat: Hendaknya kompetitor itu orang yang komitmen dengan
sistem dan aturan organisasi serta peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(أن يكون المنافس ملتزماً بنظام
الجماعة والقوانين واللوائح المعمول بها)
Sebab,
seorang mukmin tidak beribadah sendirian, tidak berjihad sendirian, tidak
berdakwah sendirian dan tidak hidup sendirian. Gambaran kehidupan yang seperti
ini jauh dari tabiat dan karakter agama Islam.
Karena
karakter Islam adalah berjama’ah. Dan amal jama’i merupakan Sunnah Kauniyah
(hukum alam), Thabi’ah Basyariyah (tabiat manusia) dan Faridhah
Syar’iyah (kewajiban syariat).
Allah SWT
berfirman,
“Sesungguhnya
Allah menyukai orang yang berperang dijalan-Nya dalam barisan yang teratur
seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh.” (Ash-Shaf: 4)
“Dan
tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan
tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada
Allah.” (Al-Maaidah: 2)
Termasuk ta’awun
di sini adalah At-Ta’awun Baina’l Munafisin (tolong-menolong di antara
para kompetitor).
Rasulullah
SAW bersabda,
يَدُ اللَّهِ مَعَ الْجَمَاعَةِ
Beliau juga
bersabda,
عَلَيْكُمْ بِالْجَمَاعَةِ
وَإِيَّاكُمْ وَالْفُرْقَةَ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ مَعَ الْوَاحِدِ وَهُوَ مِنَ
الاِثْنَيْنِ أَبْعَدُ،
مَنْ أَرَادَ بُحْبُوحَةَ
الْجَنَّةِ فَلْيَلْزَمِ الْجَمَاعَةَ
“Kalian
harus selalu berjamaah dan waspadalah kalian terhadap perpecahan. Sebab, setan
itu bersama orang yang sendirian, dan dia menjauh dari orang yang berdua.
Barangsiapa yang menginginkan (berada di) tengah surga, maka hendaknya ia
komitmen dengan berjamaah”
Juga
diperlukan الالتزام بالنزاهة والآداب الاجتماعية (komitmen dengan fairnes
dan etika-etika sosial).
Selain itu,
dalam berkompetisi seorang kompetitor harus komitmen dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku selama tidak ada unsur maksiat kepada Allah
SWT, sebab tidak ada ketaatan kepada makhluk; siapa pun dia dalam bermaksiat
kepada Al-Khaliq; Allah SWT
(لا
طاعة لمخلوق في معصية الخالق).
Allah SWT
berfirman,
“Hai
orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil
amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu,
maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih
utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”
(An-Nisaa’: 59)
Kelima: Dalam berkompetisi hendaknya seseorang tidak
berlebihan dalam iklan (mengkampanyekan dirinya), janji-janji dan dana sehingga
sampai memaksakan diri dengan berutang yang melebihi kemampuannya, supaya tidak
dianggap pamer dan cinta jabatan dan kedudukan
(عدم التكلف في
صورةالدعاية والوعود والدَّين حتى لا يُتّهم بالغرور وحب الجاه)
Sebab, israf
(berlebih-lebihan) dalam hal dan urusan apa pun terlarang dalam Islam.
Allah SWT
berfirman,
“Dan
janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
berlebih-lebihan.” (Al-A’raaf: 31)
Termasuk
dalam prinsip ini adalah mengumbar janji dan menggunakan kampanye hitam dalam
berkompetisi (عدم اللجوء إلى اصطناع الوعود والدعاية السوداء).
Keenam: Menerima dengan lapang dada karunia Allah yang
dianugerahkan kepada orang lain, baik karunia itu berupa kelebihan harta,
kepercayaan masyarakat terhadapnya atau kecintaan mereka terhadapnya
(القناعة بفضل
الله على الآخرين من مالٍ أو ثقة الناس بهم أو محبة الناس بهم)
Sebab, Allah
mendistribusikan anugerah-Nya kepada hamba-Nya secara adil. Allah SWT
berfirman,
“Apakah mereka yang membagi-bagi
rahmat Tuhanmu? kami Telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam
kehidupan dunia, dan kami Telah meninggikan sebahagian mereka atas sebagian
yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian
yang lain. dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.” (Az-Zukhruf: 32)
Ketujuh: Berlaku adil terhadap semua peserta kompetisi, baik
dari pihak para kompetitor sendiri seperti dengan tidak mencari-cari kesalahan
orang lain, maupun dari pihak organisasi baik dari qiyadah (pimpinan) atau
jundiyah (anggota) atau kebijakan organisasi dalam memberi dukungan kepada
kompetitor tertentu.
(العدل والإنصاف
من قِبل المنافسين مثل عدم تتبع أخطاء الآخرين،
أو من قِبل الجماعة: القيادة أو الجندية أو نظام
الجماعة)
Sebab,
berbuat adil itu karakter orang mukmin dan tangga menuju takwa. Allah SWT
berfirman,
“Hai orang-orang yang beriman
hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) Karena
Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu
terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku
adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada
Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” (Al-Maaidah: 8)
Dan berlaku
adil itu mendatangkan mahabbatullah (cinta dan kasih sayang Allah),
berarti akan meraih dukungan, simpati dan cinta para hamba-Nya.
Allah SWT
berfirman,
“Dan
hendaklah kamu berlaku adil; sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang
berlaku adil.” (Al-Hujraat: 9 dan lihat pula
Al-Mumtahanah: 8)
Kedelapan: Kejelasan dalam sistem/aturan, kriteria dan anggaran
baik dari sisi sumbernya maupun jumlahnya
(الوضوح في
النظام والمواصفات والميزانية: أي مصدرها ومبلغها)
Nizham (sistem) dibuat untuk ditaati dan dijalankan.
Kejelasan suatu sistem dan manajemen merupakan kebutuhan vital untuk meraih
keberhasilan dan kemenangan. Sebab, kebaikan dan kebenaran seperti apa pun,
kalau tidak diatur dengan sistem yang jelas dan manajemen yang baik, akan kalah
berkompetisi dengan kebatilan yang memiliki kejelasan sistem dan manajemen yang
rapi.
Bukankah
dahulu dikatakan oleh orang bijak,
الحق بلا نظام يغلبه الباطل بنظام
“Kebenaran
yang tidak dimenej dengan baik, akan mudah dikalahkan oleh kebatilan yang
termenej dengan baik”.
Dr. Yusuf
Muhyiddin Abu Halalah mengatakan, “Sungguh, aku mendapati begitu banyak gerakan
dakwah Islam dalam sejarah, yang belum meraih keberhasilan dan kesuksesan,
bukan karena kurang ikhlasnya para aktivisnya, juga bukan karena lemahnya
keyakinan dan kesungguhan mereka, melainkan karena mereka kurang bagus dalam
planning dan manajemen serta capaian target dari setiap marhalah (etape)
kerja dakwahnya, sehingga hasilnya adalah kegagalan”
Termasuk
dalam hal ini adalah kejelasan aturan baik yang terkait dengan kriteria
kandidat maupun dukungan dana dan logistic. Terkait dengan kejelasan anggaran
yang digunakan dalam berkompetisi; maka harus transparan dari sisi sumber
maupun jumlahnya sehingga dapat dipertanggungjawabkan di dunia dan akhirat.
Sebab, hal ini menjadi salah satu obyek audit yang urgen di hari Kiamat,
لاَ تَزُولُ قَدَمَا ابْنِ آدَمَ
يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ عِنْدِ رَبِّهِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ خَمْسٍ: عَنْ
عُمْرِهِ فِيمَا أَفْنَاهُ، وَعَنْ شَبَابِهِ فِيمَا أَبْلاَهُ، وَمَالِهِ مِنْ
أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيمَ أَنْفَقَهُ، وَمَاذَا عَمِلَ فِيمَا عَلِمَ
“Tidak
akan bergeser kedua kaki anak Adam (manusia) dari sisi Rabbnya di hari Kiamat
hingga ditanya tentang 5 hal. Tentang umur, untuk apa dihabiskan, tentang masa
mudanya untuk apa digunakan, tentang hartanya dari mana ia dapatkan dan untuk
apa ia gunakan/belanjakan, dan apa yang diperbuat dengan ilmunya”
Kesembilan: Terus terang dan membudayakan saling terus terang
(الصراحة
والمصارحة)
Semua
anggota dalam organisasi harus biasa terus terang dan membudayakan saling terus
terang dalam semua urusannya, termasuk dalam masalah kompetisi. Sehingga tidak
terbiasa bicara di belakang layar, sementara di hadapan yang bersangkutan atau
kompetitor seakan tidak ada apa-apa dan tidak ada masalah.
Hal ini
mengingatkan kita kepada budaya sharahah (terus terang) di kalangan
generasi terbaik; para sahabat RA. Seperti yang terjadi antara Abu Bakar RA dan
Umar bin Khaththab RA ketika keduanya berselisih dan berbeda pendapat dalam
menunjuk pemimpin suatu ekspedisi. Abu Bakar RA mengajukan Qa’qa’ bin Ma’bad
bin Zurarah RA sebagai pemimpin, namun Umar RA tidak setuju dan menominasikan
Aqra’ bin Habis RA sebagai pemimpin. Perselisihan ini membuat suara kedua
sahabat senior ini meninggi. Di saat itu, Abu Bakar RA mengatakan kepada Umar
RA,
مَا أَرَدْتَ إِلاَّ خِلاَفِي. قَالَ عُمَرُ: مَا
أَرَدْتُ خِلاَفَكَ.
“Engkau
ini tidak ingin kecuali selalu beda denganku”.
Umar RA menjawab, “Aku tidak ingin beda denganmu”. Lalu keduanya
berdebat sampai meninggi suara keduanya, kemudian turunlah awal QS Al Hujurat
[49]: ayat 1 dan seterusnya
Terus terang
adalah bagian dari kejujuran. Dan kejujuran adalah bagian dari keimanan dan
karakter utama orang yang bertaqwa.
Allah SWT
berfirman,
“Hai
orang-orang yang beriman bertaqwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama
orang-orang yang benar” (At-Taubah:
119)
Untuk itu,
dalam berkompetisi perlu dibudayakan saling terus terang sesama kompetitor
dalam beberapa hal, sehingga tidak ada su’uzhzhan (prasangka negatif)
dan dusta di antara mereka.
Kesepuluh: Ridha dengan takdir Allah dan keputusan organisasi
(الرضا بقدر
الله وبقرارات الجماعة)
Dalam setiap
kompetisi, tentu selalu ada yang menang dan ada yang kalah. Kewajiban kita
adalah berusaha dengan sungguh-sungguh dan mengerahkan semua potensi yang kita
miliki, namun apa pun hasilnya, itu masuk dalam ranah takdir Allah Yang Maha
Kuasa. Untuk itu, harus selalu ridha dengan keputusan Allah SWT. Selalu husnuzhzhan
(berbaik sangka) kepada Allah, bahwa takdir-Nya terkait menang atau kalah dalam
berkompetisi, itulah yang terbaik buat kita. Sebab, Allah SWT telah menegaskan
dalam firman-Nya,
“Boleh jadi kamu membenci
sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai
sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah Mengetahui, sedang kamu tidak
mengetahui.” (Al-Baqarah: 216)
Rasulullah
SAW bersabda,
عَجَبًا لأَمْرِ الْمُؤْمِنِ، إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ
خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَاكَ لأَحَدٍ إِلاَّ لِلْمُؤْمِنِ، إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ
شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ،
وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا
لَهُ
“Urusan orang mukmin itu
mengagumkan. Sesungguhnya semua urusannya itu baik, dan hal ini tidak dimiliki
oleh siapa pun kecuali oleh orang mukmin. Jika dia dianugerahi sesuatu yang
menyenangkan lalu mensyukurinya, maka hal ini merupakan kebaikan baginya. Dan
jika dia ditimpa/diuji dengan sesuatu yang tidak menyenangkan lalu sabar, maka
hal ini (juga) merupakan kebaikan baginya”
Kemudian
sebagai bagian dari anggota organisasi, maka keputusan organisasi yang tidak
melanggar syar’i dan berpedoman pada asas syura/musyawarah, adalah juga
merupakan keputusan baik dan tepat, yang juga wajib ditaati dan dipatuhi.
Allah SWT
berfirman,
“Dan
bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu [Maksudnya: urusan peperangan
dan hal-hal duniawiyah lainnya, seperti urusan politik, ekonomi, kemasyarakatan
dan lain-lainnya]. Kemudian apabila kamu Telah membulatkan tekad, Maka
bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal
kepada-Nya.” (Ali ‘Imran: 159)
Semoga
dengan memperhatikan etika dan rambu-rambu di atas, beragam kompetisi yang kita
jalani, termasuk dalam PILEG (pemilu legislatif) nanti, dapat menghadirkan
anugerah dan keberkahan Ilahi bagi kehidupan keluarga, jamaah dan negeri yang
kita cintai ini.