SELAMAT BERKUNJUNG KE BLOG SAYA
Code CBox milik sahabat sendiri
Ingin Widget ini ?
Klik di sini

Kamis, 13 Maret 2014



KHUTBAH JUMAT  MENYAMBUT PEMILU LEGISLATIF
 
Sepuluh Prinsip Etika Kompetisi
Agar kompetisi yang positif di atas tidak berubah menjadi energi negatif dan madzmum (tercela), maka perlu memperhatikan 10 prinsip etika berikut:

Pertama: Harus dipastikan bahwa kompetisi itu benar-benar dalam kebaikan
(أن تكون المنافسة في الخيرات)
Semua dalil di atas menunjukkan bahwa berkompetisi itu menjadi mulia jika dilakukan dalam kebaikan. Dan salah satu kunci keberhasilan Rasulullah SAW dalam mentarbiyah (membina) para sahabatnya sehingga menjadi generasi terbaik dan manusia unggul, adalah beliau SAW menanamkan dalam diri mereka ruh at-tanaafus (semangat berkompetisi) dalam kebaikan.
Contohnya adalah kompetisi yang ditunjukkan Umar bin Khaththab RA yang ingin mengalahkan Abu Bakar Ash-Shiddiq RA dalam berjihad dengan harta (bersedekah). Yaitu, suatu hari Rasulullah SAW menyeru dan menyemangati para sahabat untuk bersedekah. Maka, terkumpullah harta yang cukup banyak di tangan Umar untuk disedekahkan merespon seruan Nabi SAW. Umar RA berkata, “Hari ini, aku akan dapat mengalahkan Abu Bakar. Maka, aku datang (menemui Nabi) membawa separuh hartaku”. Lalu Rasulullah SAW bertanya, “Apa yang engkau sisakan buat keluargamu?” Aku menjawab, “Sepadan dengan itu (maksudnya; separuhnya)”. Dan (tiba-tiba) datanglah Abu Bakar dengan membawa semua harta yang dimilikinya. Beliau SAW lalu bertanya, “Wahai Abu Bakar, apa yang engkau sisakan buat keluargamu?” Ia menjawab, “Aku sisakan buat mereka Allah dan Rasul-Nya”. Aku (Umar) berkomentar, “Aku tidak akan pernah mengalahkannya (Abu Bakar) dalam urusan apa pun selama-lamanya”[8].
Termasuk kompetisi dalam kebaikan, adalah berkompetisi dalam Kasbu’ts Tsawab (meraih pahala) dan Kasbu’l Qulub (menarik simpati hati) masyarakat guna mendukung dan mensupport dakwah (Ta’zizu’d Da’wah) dengan mengenalkan dan memasarkan program-program dakwah kepada masyarakat. Kejujuran dan kesungguhan ikhtiar kita dalam hal ini mendatangkan support dan Mahabbatullah (kecintaan Allah) yang kemudian pasti akan melahirkan simpati, dukungan dan cinta masyarakat, sebagaimana telah digariskan oleh Allah SWT dalam firman-Nya,
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, kelak Allah yang Maha Pemurah akan menanamkan dalam (hati) mereka rasa kasih sayang.” (Maryam: 96)
Juga telah ditegaskan oleh Rasulullah SAW dalam dengan sabdanya,
إِذَا أَحَبَّ اللَّهُ الْعَبْدَ نَادَى جِبْرِيلَ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ فُلاَنًا فَأَحْبِبْهُ، فَيُحِبُّهُ جِبْرِيلُ، فَيُنَادِي جِبْرِيلُ فِى أَهْلِ السَّمَاءِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ فُلاَنًا فَأَحِبُّوهُ، فَيُحِبُّهُ أَهْلُ السَّمَاءِ، ثُمَّ يُوضَعُ لَهُ الْقَبُولُ فِى الأَرْضِ
“Apabila Allah mencintai seorang hamba, Dia memanggil Jibril (seraya berfirman); Sesungguhnya Allah mencintai si Fulan (disebut nama orang itu), maka cintailah dia! Lalu Jibril pun mencintainya. Kemudian Jibril memanggil penduduk langit (seraya berkata); Sesungguhnya Allah mencintai si Fulan, maka hendaknya kalian semua mencintainya. Kemudian ia mendapatkan penerimaan (yang baik; simpati dan dukungan) di muka bumi”[9].
Dalam versi riwayat Imam Muslim, terdapat tambahan redaksi berikut,
وَإِذَا أَبْغَضَ عَبْدًا دَعَا جِبْرِيلَ فَيَقُولُ إِنِّي أُبْغِضُ فُلاَنًا فَأَبْغِضْهُ – قَالَ – فَيُبْغِضُهُ جِبْرِيلُ ثُمَّ يُنَادِي فِي أَهْلِ السَّمَاءِ إِنَّ اللَّهَ يُبْغِضُ فُلاَنًا فَأَبْغِضُوهُ – قَالَ – فَيُبْغِضُونَهُ ثُمَّ تُوضَعُ لَهُ الْبَغْضَاءُ فِي الأَرْضِ
“Dan apabila (Allah) membenci seorang hamba, Dia memanggil Jibril sambil berfirman, ‘Sesungguhnya Aku benci si Fulan, maka bencilah ia!’. Lalu Jibril membencinya, kemudian memanggil kepada penduduk langit; Sesungguhnya Allah membenci si Fulan maka hendaknya kalian membencinya. Semua penduduk langit pun lantas membencinya, kemudian ia mendapatkan kebencian (bisa berbentuk ditolak dan dimusuhi) di muka bumi
Kedua: Hendaknya Al-Munafasah (kompetisi) itu di jalan Allah, bukan untuk kepentingan diri sendiri (individu), harta rampasan perang, jabatan/kedudukan dan popularitas/penampilan
(أن تكون المنافسة في سبيل الله، لا في سبيل الذات، والمغنم، والجاه، والمظهر)
Baik dan buruknya suatu kompetisi sangat tergantung kepada niat dan motivasi. Maka, perlu selalu diwaspadai rusaknya niat dan motivasi dalam berkompetisi. Bukankah Rasulullah SAW telah bersabda,
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
“Sesungguhnya semua perbuatan itu tergantung kepada niat. Dan setiap orang tergantung kepada apa yang diniatkan (motivasi)nya
Untuk itu harus diwaspadai kompetisi dan persaingan dalam urusan dunia; jabatan, kedudukan, harta dan yang sejenisnya. Betapa bahayanya masalah ini, Imam Bukhari sampai perlu membuat satu bab khusus dalam kitab “Shahih”nya, yaitu “Bab Hal yang Perlu Diwaspadai dari Gemerlap Dunia dan Berkompetisi dalam Urusan ini”, kemudian beliau meriwayatkan hadits Nabi SAW ketika memberi taujih (arahan) kepada para sahabatnya seraya bersabda,
فَوَاللَّهِ مَا الْفَقْرَ أَخْشَى عَلَيْكُمْ، وَلَكِنْ أَخْشَى عَلَيْكُمْ أَنْ تُبْسَطَ عَلَيْكُمُ الدُّنْيَا، كَمَا بُسِطَتْ عَلَى مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ، فَتَنَافَسُوهَا كَمَا تَنَافَسُوهَا وَتُلْهِيَكُمْ كَمَا أَلْهَتْهُمْ
“Maka, demi Allah bukanlah kefakiran yang aku khawatirkan atas kalian. Akan tetapi, yang aku khawatirkan atas kalian adalah ketika dibukakan/dibentangkan atas kalian dunia sebagaimana dibentangkan dunia itu atas orang-orang sebelum kalian. Lalu kalian saling berkompetisi dalam memperebutkan dunia itu seperti mereka dulu (juga) berkompetisi dalam memperebutkannya, dan (akhirnya) dunia itu menghancurkan kalian seperti dunia itu (pula) yang pernah menghancurkan mereka”[12].
Dari Abdullah bin Amr bin Ash RA, dari Rasulullah SAW bersabda,
“إِذَا فُتِحَتْ عَلَيْكُمْ فَارِسُ وَالرُّومُ أَيُّ قَوْمٍ أَنْتُمْ ؟” قَالَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ: نَقُولُ كَمَا أَمَرَنَا اللَّهُ. قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- “أَوْ غَيْرَ ذَلِكَ تَتَنَافَسُونَ ثُمَّ تَتَحَاسَدُونَ ثُمَّ تَتَدَابَرُونَ ثُمَّ تَتَبَاغَضُونَ أَوْ نَحْوَ ذَلِكَ”
“Apabila ditundukkan bangsa Persia dan Romawi bagi kalian, maka kalian akan menjadi kaum seperti apa?” Abdurrahman bin Auf RA menjawab, “Kami akan mengatakan seperti apa yang diperintahkan Allah” (Imam An Nawawi menjelaskan; maksudnya: kami akan memuji-Nya, mensyukuri-Nya dan memohon kepada-Nya tambahan karunia-Nya) Rasulullah SAW bersabda, “Atau (jangan-jangan) tidak seperti itu. Kalian malah saling berkompetisi (dalam memperebutkan ‘kue’ kemenangan itu), kemudian (menjadikan) kalian saling hasud, kemudian saling membelakang (tidak menyapa), kemudian saling membenci, atau yang semisal itu”
Kompetisi sejati di jalan Allah, telah diperagakan oleh para pemuda di zaman Nabi SAW. Dalam perang Uhud, Rasulullah SAW telah menolak keinginan 14 orang pemuda yang ingin ikut perang Uhud, karena usia mereka yang masih relatif muda; 14 tahun atau kurang dari itu. Di antara mereka: Abdullah bin Umar[ Zaid bin Tsabit, Usamah bin Zaid, Nu’man bin Basyir, Zaid bin Arqam, Barra’ bin ‘Azib. Mereka merindukan bisa ikut perang dan masing-masing bercita-cita meraih mati syahid di jalan Allah, sehingga masing-masing dari mereka siap berkompetisi dengan temannya agar bisa terpilih ikut perang. Seperti Rafi’ bin Khadij RA, seorang pemuda dari kaum Anshar yang berkompetisi dengan Samurah bin Jundub RA sampai harus bergumul memperlihatkan kemampuannya guna meyakinkan Nabi SAW bahwa mereka layak dipilih dan diikutsertakan dalam perang Uhud
Bahkan, yang sangat mengagumkan, kompetisi seperti ini juga terjadi antara ayah dan anak. Ketika Rasulullah SAW memobilisir kaum muslimin untuk keluar mencegah kafilah kaum Quraisy, Khaitsamah bin Harits mengatakan kepada putranya; Sa’ad, “Sesungguhnya salah seorang dari kita harus tinggal di rumah untuk menjaga para wanita (keluarga)mu, maka biarkan aku yang keluar (ikut jihad bersama tentara kaum muslimin)”. Namun Sa’ad menolak seraya berkata, “Wahai ayahku, seandainya hal ini tidak ada hubungan dengan surga, niscaya aku relakan ayahanda yang mendapatkannya. Sesungguhnya aku sangat mengharapkan mati syahid”. Lalu, mereka sepakat untuk berkompetisi dengan cara diundi, ternyata yang keluar sebagai pemenang adalah nama anaknya, Sa’ad. Maka, berangkatlah Sa’ad bersama Rasulullah SAW dalam perang Badar (tahun 2 H) kemudian terbunuh; mati syahid
Ketiga: Hendaknya kompetitor itu orang yang memiliki kapabilitas dan kredibiltas, serta memiliki kafa’ah (kemampuan dan kompetensi), baik kemampuan tarbiyah (kematangan tarbiyah), dakwah dan sosial.
(أن يكون المنافس صاحب الكفاءة التربوية (النضج التربوي)، والدعوية, والاجتماعية)
Sebab, kalau amanat atau suatu urusan diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya dan tidak memiliki kemampuan, maka yang terjadi adalah suatu kerusakan dan kehancuran. Sebagaimana sabda Nabi SAW,
إِذَا وُسِّدَ الأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ
“Apabila suatu urusan itu diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya, maka tunggulah hari kiamat”[18].
Nabi SAW pernah mengingatkan sahabatnya tercinta; Abu Dzar RA untuk tidak menjabat apa pun karena tidak memiliki kompetensi dan kemampuan dalam hal ini.
عَنْ أَبِي ذَرٍّ قَال: قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَلاَ تَسْتَعْمِلُنِي؟ قَالَ: فَضَرَبَ بِيَدِهِ عَلَى مَنْكِبِي ثُمَّ قَالَ: “يَا أَبَا ذَرٍّ إِنَّكَ ضَعِيفٌ وَإِنَّهَا أَمَانَةٌ وَإِنَّهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ خِزْيٌ وَنَدَامَةٌ إِلاَّ مَنْ أَخَذَهَا بِحَقِّهَا وَأَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ فِيهَا”
Dari Abu Dzar RA bercerita, aku pernah bicara (dengan Nabi), “Wahai Rasulullah, mengapa engkau tidak tugasi aku dengan suatu tugas/jabatan?” Ia berkata, lalu beliau SAW menepuk pundakku dengan tangannya, kemudian bersabda, “Hai Abu Dzar, sesungguhnya engkau orang yang lemah, dan sungguh jabatan itu amanah, dan jabatan (kekuasaan) itu benar-benar pada hari Kiamat merupakan suatu kehinaan dan penyesalan, kecuali orang yang mengambilnya dengan benar dan menunaikan hak-haknya dengan baik”[
Dalam versi riwayat lain, Nabi SAW menasehati Abu Dzar RA dengan sabdanya,
يَا أَبَا ذَرٍّ إِنِّي أَرَاكَ ضَعِيفًا وَإِنِّي أُحِبُّ لَكَ مَا أُحِبُّ لِنَفْسِي لاَ تَأَمَّرَنَّ عَلَى اثْنَيْنِ وَلاَ تَوَلَّيَنَّ مَالَ يَتِيمٍ
“Hai Abu Dzar, sungguh aku lihat engkau orang yang lemah, dan aku mencintai untuk dirimu apa yang aku cintai untuk diriku. Engkau jangan memimpin dua orang dan jangan pula memegang harta anak yatim”
Keempat: Hendaknya kompetitor itu orang yang komitmen dengan sistem dan aturan organisasi serta peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(أن يكون المنافس ملتزماً بنظام الجماعة والقوانين واللوائح المعمول بها)
Sebab, seorang mukmin tidak beribadah sendirian, tidak berjihad sendirian, tidak berdakwah sendirian dan tidak hidup sendirian. Gambaran kehidupan yang seperti ini jauh dari tabiat dan karakter agama Islam.
Karena karakter Islam adalah berjama’ah. Dan amal jama’i merupakan Sunnah Kauniyah (hukum alam), Thabi’ah Basyariyah (tabiat manusia) dan Faridhah Syar’iyah (kewajiban syariat).
Allah SWT berfirman,
“Sesungguhnya Allah menyukai orang yang berperang dijalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh.” (Ash-Shaf: 4)
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah.” (Al-Maaidah: 2)
Termasuk ta’awun di sini adalah At-Ta’awun Baina’l Munafisin (tolong-menolong di antara para kompetitor).
Rasulullah SAW bersabda,
يَدُ اللَّهِ مَعَ الْجَمَاعَةِ
“Tangan Allah itu bersama jama’ah”
Beliau juga bersabda,
عَلَيْكُمْ بِالْجَمَاعَةِ وَإِيَّاكُمْ وَالْفُرْقَةَ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ مَعَ الْوَاحِدِ وَهُوَ مِنَ الاِثْنَيْنِ أَبْعَدُ،
 مَنْ أَرَادَ بُحْبُوحَةَ الْجَنَّةِ فَلْيَلْزَمِ الْجَمَاعَةَ
“Kalian harus selalu berjamaah dan waspadalah kalian terhadap perpecahan. Sebab, setan itu bersama orang yang sendirian, dan dia menjauh dari orang yang berdua. Barangsiapa yang menginginkan (berada di) tengah surga, maka hendaknya ia komitmen dengan berjamaah”
Juga diperlukan الالتزام بالنزاهة والآداب الاجتماعية (komitmen dengan fairnes dan etika-etika sosial).
Selain itu, dalam berkompetisi seorang kompetitor harus komitmen dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku selama tidak ada unsur maksiat kepada Allah SWT, sebab tidak ada ketaatan kepada makhluk; siapa pun dia dalam bermaksiat kepada Al-Khaliq; Allah SWT
(لا طاعة لمخلوق في معصية الخالق).
Allah SWT berfirman,
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya” (An-Nisaa’: 59)
Kelima: Dalam berkompetisi hendaknya seseorang tidak berlebihan dalam iklan (mengkampanyekan dirinya), janji-janji dan dana sehingga sampai memaksakan diri dengan berutang yang melebihi kemampuannya, supaya tidak dianggap pamer dan cinta jabatan dan kedudukan
(عدم التكلف في صورةالدعاية والوعود والدَّين حتى لا يُتّهم بالغرور وحب الجاه)
Sebab, israf (berlebih-lebihan) dalam hal dan urusan apa pun terlarang dalam Islam.
Allah SWT berfirman,
“Dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (Al-A’raaf: 31)
Termasuk dalam prinsip ini adalah mengumbar janji dan menggunakan kampanye hitam dalam berkompetisi (عدم اللجوء إلى اصطناع الوعود والدعاية السوداء).
Keenam: Menerima dengan lapang dada karunia Allah yang dianugerahkan kepada orang lain, baik karunia itu berupa kelebihan harta, kepercayaan masyarakat terhadapnya atau kecintaan mereka terhadapnya
(القناعة بفضل الله على الآخرين من مالٍ أو ثقة الناس بهم أو محبة الناس بهم)
Sebab, Allah mendistribusikan anugerah-Nya kepada hamba-Nya secara adil. Allah SWT berfirman,
“Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? kami Telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan kami Telah meninggikan sebahagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.” (Az-Zukhruf: 32)
Ketujuh: Berlaku adil terhadap semua peserta kompetisi, baik dari pihak para kompetitor sendiri seperti dengan tidak mencari-cari kesalahan orang lain, maupun dari pihak organisasi baik dari qiyadah (pimpinan) atau jundiyah (anggota) atau kebijakan organisasi dalam memberi dukungan kepada kompetitor tertentu.
(العدل والإنصاف من قِبل المنافسين مثل عدم تتبع أخطاء الآخرين،
أو من قِبل الجماعة: القيادة أو الجندية أو نظام الجماعة)
Sebab, berbuat adil itu karakter orang mukmin dan tangga menuju takwa. Allah SWT berfirman,
“Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) Karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” (Al-Maaidah: 8)
Dan berlaku adil itu mendatangkan mahabbatullah (cinta dan kasih sayang Allah), berarti akan meraih dukungan, simpati dan cinta para hamba-Nya.
Allah SWT berfirman,
“Dan hendaklah kamu berlaku adil; sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.” (Al-Hujraat: 9 dan lihat pula Al-Mumtahanah: 8)
Kedelapan: Kejelasan dalam sistem/aturan, kriteria dan anggaran baik dari sisi sumbernya maupun jumlahnya
(الوضوح في النظام والمواصفات والميزانية: أي مصدرها ومبلغها)
Nizham (sistem) dibuat untuk ditaati dan dijalankan. Kejelasan suatu sistem dan manajemen merupakan kebutuhan vital untuk meraih keberhasilan dan kemenangan. Sebab, kebaikan dan kebenaran seperti apa pun, kalau tidak diatur dengan sistem yang jelas dan manajemen yang baik, akan kalah berkompetisi dengan kebatilan yang memiliki kejelasan sistem dan manajemen yang rapi.
Bukankah dahulu dikatakan oleh orang bijak,
الحق بلا نظام يغلبه الباطل بنظام
“Kebenaran yang tidak dimenej dengan baik, akan mudah dikalahkan oleh kebatilan yang termenej dengan baik”.
Dr. Yusuf Muhyiddin Abu Halalah mengatakan, “Sungguh, aku mendapati begitu banyak gerakan dakwah Islam dalam sejarah, yang belum meraih keberhasilan dan kesuksesan, bukan karena kurang ikhlasnya para aktivisnya, juga bukan karena lemahnya keyakinan dan kesungguhan mereka, melainkan karena mereka kurang bagus dalam planning dan manajemen serta capaian target dari setiap marhalah (etape) kerja dakwahnya, sehingga hasilnya adalah kegagalan”
Termasuk dalam hal ini adalah kejelasan aturan baik yang terkait dengan kriteria kandidat maupun dukungan dana dan logistic. Terkait dengan kejelasan anggaran yang digunakan dalam berkompetisi; maka harus transparan dari sisi sumber maupun jumlahnya sehingga dapat dipertanggungjawabkan di dunia dan akhirat. Sebab, hal ini menjadi salah satu obyek audit yang urgen di hari Kiamat,
لاَ تَزُولُ قَدَمَا ابْنِ آدَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ عِنْدِ رَبِّهِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ خَمْسٍ: عَنْ عُمْرِهِ فِيمَا أَفْنَاهُ، وَعَنْ شَبَابِهِ فِيمَا أَبْلاَهُ، وَمَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيمَ أَنْفَقَهُ، وَمَاذَا عَمِلَ فِيمَا عَلِمَ
“Tidak akan bergeser kedua kaki anak Adam (manusia) dari sisi Rabbnya di hari Kiamat hingga ditanya tentang 5 hal. Tentang umur, untuk apa dihabiskan, tentang masa mudanya untuk apa digunakan, tentang hartanya dari mana ia dapatkan dan untuk apa ia gunakan/belanjakan, dan apa yang diperbuat dengan ilmunya”
Kesembilan: Terus terang dan membudayakan saling terus terang
(الصراحة والمصارحة)
Semua anggota dalam organisasi harus biasa terus terang dan membudayakan saling terus terang dalam semua urusannya, termasuk dalam masalah kompetisi. Sehingga tidak terbiasa bicara di belakang layar, sementara di hadapan yang bersangkutan atau kompetitor seakan tidak ada apa-apa dan tidak ada masalah.
Hal ini mengingatkan kita kepada budaya sharahah (terus terang) di kalangan generasi terbaik; para sahabat RA. Seperti yang terjadi antara Abu Bakar RA dan Umar bin Khaththab RA ketika keduanya berselisih dan berbeda pendapat dalam menunjuk pemimpin suatu ekspedisi. Abu Bakar RA mengajukan Qa’qa’ bin Ma’bad bin Zurarah RA sebagai pemimpin, namun Umar RA tidak setuju dan menominasikan Aqra’ bin Habis RA sebagai pemimpin. Perselisihan ini membuat suara kedua sahabat senior ini meninggi. Di saat itu, Abu Bakar RA mengatakan kepada Umar RA,
مَا أَرَدْتَ إِلاَّ خِلاَفِي. قَالَ عُمَرُ: مَا أَرَدْتُ خِلاَفَكَ.
“Engkau ini tidak ingin kecuali selalu beda denganku”. Umar RA menjawab, “Aku tidak ingin beda denganmu”. Lalu keduanya berdebat sampai meninggi suara keduanya, kemudian turunlah awal QS Al Hujurat [49]: ayat 1 dan seterusnya
Terus terang adalah bagian dari kejujuran. Dan kejujuran adalah bagian dari keimanan dan karakter utama orang yang bertaqwa.
Allah SWT berfirman,
“Hai orang-orang yang beriman bertaqwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar” (At-Taubah: 119)
Untuk itu, dalam berkompetisi perlu dibudayakan saling terus terang sesama kompetitor dalam beberapa hal, sehingga tidak ada su’uzhzhan (prasangka negatif) dan dusta di antara mereka.
Kesepuluh: Ridha dengan takdir Allah dan keputusan organisasi
(الرضا بقدر الله وبقرارات الجماعة)
Dalam setiap kompetisi, tentu selalu ada yang menang dan ada yang kalah. Kewajiban kita adalah berusaha dengan sungguh-sungguh dan mengerahkan semua potensi yang kita miliki, namun apa pun hasilnya, itu masuk dalam ranah takdir Allah Yang Maha Kuasa. Untuk itu, harus selalu ridha dengan keputusan Allah SWT. Selalu husnuzhzhan (berbaik sangka) kepada Allah, bahwa takdir-Nya terkait menang atau kalah dalam berkompetisi, itulah yang terbaik buat kita. Sebab, Allah SWT telah menegaskan dalam firman-Nya,
“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah Mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (Al-Baqarah: 216)

Rasulullah SAW bersabda,
عَجَبًا لأَمْرِ الْمُؤْمِنِ، إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَاكَ لأَحَدٍ إِلاَّ لِلْمُؤْمِنِ، إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ،
وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ
“Urusan orang mukmin itu mengagumkan. Sesungguhnya semua urusannya itu baik, dan hal ini tidak dimiliki oleh siapa pun kecuali oleh orang mukmin. Jika dia dianugerahi sesuatu yang menyenangkan lalu mensyukurinya, maka hal ini merupakan kebaikan baginya. Dan jika dia ditimpa/diuji dengan sesuatu yang tidak menyenangkan lalu sabar, maka hal ini (juga) merupakan kebaikan baginya”
Kemudian sebagai bagian dari anggota organisasi, maka keputusan organisasi yang tidak melanggar syar’i dan berpedoman pada asas syura/musyawarah, adalah juga merupakan keputusan baik dan tepat, yang juga wajib ditaati dan dipatuhi.
Allah SWT berfirman,
“Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu [Maksudnya: urusan peperangan dan hal-hal duniawiyah lainnya, seperti urusan politik, ekonomi, kemasyarakatan dan lain-lainnya]. Kemudian apabila kamu Telah membulatkan tekad, Maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya.” (Ali ‘Imran: 159)
Semoga dengan memperhatikan etika dan rambu-rambu di atas, beragam kompetisi yang kita jalani, termasuk dalam PILEG (pemilu legislatif) nanti, dapat menghadirkan anugerah dan keberkahan Ilahi bagi kehidupan keluarga, jamaah dan negeri yang kita cintai ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar